0

Exit Through the Gift Shop (2010)


Pastinya kita sering melihat "coretan-coretan" di dinding gedung atau pinggiran jalan, entah itu berupa tulisan atau pun gambar. Terkadang hal ini merusak keindahan tapi ada juga yang justru menambah "warna" tersendiri di kota-kota besar. Penasaran bagaimana "coretan-coretan" itu dibuat dan seperti apa sebenarnya "pekerjaan" yang dilakukan seniman-seniman ini. Exit Through the Gift Shop merupakan film dokumenter yang berdasarkan footage yang dibuat oleh Thierry Guetta yang bercerita tentang para seniman jalanan. Berawal dari hobi Thierry yang merekam kehidupannya sehari-hari dengan kamera bahkan ia tidak bisa meninggalkan rumah tanpa kameranya, Thierry bertemu dengan sepupunya, Invader, seorang seniman jalanan yang cukup dikenal saat ia sedang berlibur ke Perancis. Thierry sendiri adalah imigran Perancis yang tinggal di Los Angeles. Thierry yang mengikuti perjalanan Invader saat ia membuat "hiasan" di gedung dan jalanan membuatnya tertarik untuk menelusuri kehidupan para seniman jalanan ini. Hingga Thierry bertemu dengan Shepard Fairey, seorang seniman jalanan di kota Los Angeles. Thierry yang mengikuti kemana pun Fairey pergi dan memfilmkan seluruh kegiatan Fairey dalam membuat karya-karyanya. Thierry berhasil merekam kegiatan berbagai seniman jalanan yang ia temui, tapi yang membuat dia penasaran adalah Banksy. Banksy adalah seorang seniman jalanan yang karyanya telah mendunia. Berbagai tempat di dunia telah menjadi obyek tempat dia "menempelkan" karya-karyanya.


Berkat Fairey, Thierry berhasil bertemu dengan Banksy dimana setelah itu ia mengikuti hampir seluruh kegiatan Banksy ketika ia membuat karya-karyanya. Di sini karakter Banksy dirahasikannya identitasnya dengan membuat blur pada wajah dan mengubah suaranya. Film ini tidak hanya bercerita tentang para seniman jalanan ini, namun juga tentang kehidupan Thierry itu sendiri. Thierry yang menceritakan masa kecilnya hingga bagaimana kecintaannya terhadap kamera hingga ia selalu merekam kehidupannya. Thierry yang tertarik dengan dunia seni jalanan ini kemudian mendorongnya untuk ikut terjun ke dalamnya. Berkat dorongan Banksy, Thierry pun menorehkan karyanya ke dinding-dinding gedung di kota Los Angeles. Seketika film ini berubah setelah sebelumnya bercerita tentang beberapa seniman jalanan kini beralih pada bagaimana Thierry Guetta menjadi seniman jalanan itu sendiri. Seketika Thierry pun menjadi salah satu seniman jalanan yang dikenal di Los Angeles dengan namanya Mr. Brainwash. Hingga ia pun mengubah sebuah studio bekas menjadi tempat pameran karya-karyanya yang pertama berjudul "Life is Beautiful".


Exit Through the Gift Shop menghadirkan sebuah pengalaman yang cukup unik. Dimana film ini menyuguhkan "petualangan" para seniman jalanan. Bagaimana sulitnya membuat gambar-gambar di dinding jalanan atau gedung dimana pekerjaan ini adalah sesuatu yang ilegal. Cukup menarik ketika kita mengikuti bagaimana Thierry naik turun sebuah bangunan gedung yang cukup berbahaya demi bisa merekam kegiatan para seniman jalanan ini. Hingga pengalaman dikejar dan ditangkap oleh petugas keamanan. Film ini juga menggambarkan bagaimana perubahan yang terjadi pada Thierry Guetta yang awalnya hanya merekam para seniman jalanan ini berdasarkan ketertarikannya pada seni jalanan hingga bagaimana ia tertarik untuk mendalami dan ikut terjun dalam seni jalanan itu sendiri. Sebuah pesan yang dapat diambil bagaimana kehidupan sekitar kita sehari-hari dapat merubah apa yang kita lakukan. Selain itu, hal lain dari film ini yang saya suka adalah musik pengiringnya yang terasa cocok. Apalagi musik pembuka dan penutup film ini, "Tonight the Streets Are Ours" oleh Richard Hawley yang terdengar catchy dan pas sekali dengan film ini.

Exit Through the Gift Shop memberikan pengalaman yang cukup unik dalam sebuah film dokumenter. Dengan tema yang sedikit berbeda dari film dokumenter kebanyakan dimana film ini justru mengangkat suatu fenomena yang mungkin jarang orang mendalami bagaimana kehidupan seniman jalanan. Dimana banyak orang berfikir coretan-coretan mereka justru merusak keindahan kota namun sebaliknya mungkin akan terlihat aneh bila kota tanpa coretan-coretan graffiti. Alhasil Exit Through the Gift Shop menjadi salah satu nominator dalam Academy Award 2011 untuk kategori Best Documentary. Bagi yang menyukai atau ingin tahu street arts seperti graffiti dan sebagainya, Exit Through the Gift Shop adalah sebuah film yang wajib untuk ditonton.


RATE : 4 / 5

0

The Way Back (2010)


The Long Walk sebuah buku yang ditulis berdasarkan pengalaman Slawomir Rawicz, seorang tentara Polandia yang menjadi tahanan Soviet pada masa Perang Dunia II, menceritakan perjalanannya bersama 6 orang lainnya kabur dari sebuah penjara di Rusia menuju ke selatan melewati Gurun Gobi, Tibet dan Pegunungan Himalaya hingga akhirnya sampai ke India yang pada saat itu dalam pendudukan Inggris. Terinspirasi dari kisah itu, Peter Weir pun membuat The Way Back. Film ini dibintangi oleh aktor dan aktris yang mungkin sudah tidak asing lagi, yaitu Jim Sturgess sebagai Janusz, orang Polandia yang dituduh telah memata-matai Rusia untung kepentingan asing, Collin Farrell sebagai Valka, seorang kriminal Rusia, Ed Harris sebagai Mr. Smith dan Saoirse Ronan sebagai Irena, seorang gadis Polandia yang orang tuanya dibunuh oleh tentara Rusia. Selain beberapa pemeran tersebut ada juga beberapa aktor lain seperti Alexandru Potocean, Sebastian Urzendowsky, Gustaf Skarsgard dan Dragos Bucur dimana masing-masing dari mereka berperan sebagai tahanan yang ikut kabur bersama Janusz.


Janusz seorang warga Polandia yang dituduh telah memata-matai Rusia demi keuntungan asing diharuskan untuk mengakui perbuatannya. Janusz yang kemudian dimasukkan ke sebuah kamp penjara Rusia bertemu dengan Mr. Smith, seorang warga Amerika. Selain itu Janusz juga bertemu dengan beberapa tahanan kamp lainnya, seperti Valka, Tamasz, Kazik, Voss dan Zoran. Setiap penghuni kamp melakukan kegiatan masing-masing demi mendapatkan makanan untuk dapat bertahan hidup di kamp tersebut. Janusz kemudian bertemu Khabarov yang memberitahukannya rencana untuk kabur dari kamp tersebut. Mengetahui sebenarnya Khabarov sebenarnya tidak memiliki keinginan untuk kabur, Janusz tetap pada pendiriannya untuk kabur dari kamp tersebut. Suatu hari, memanfaatkan cuaca yang buruk, Janusz bersama 6 tahanan lainnya pun berhasil kabur dari tempat tersebut menuju ke selatan mencapai perbatasan Mongolia. Cuaca buruk tersebut menguntungkan mereka untuk lari, mengingat jejak mereka langsung tertutup oleh salju sehingga tentara Rusia sulit untuk melacak mereka. Dalam perjalanan mereka ke selatan, mereka bertemu dengan Irena, seorang gadis Polandia yang kehilangan orang tuanya dibunuh yang kemudian bergabung dengan mereka. Mereka pun menyusuri perjalanan yang panjang melewati daratan Siberia yang dingin, Gurun Gobi yang panas dan Pegunungan Himalaya yang terjal demi mencapai tempat dimana tidak ada pengaruh komunis di tempat tersebut dan meraih kebebasan.

The Way Back sebenarnya telah dirilis terlebih dahulu dalam beberapa festival film pada tahun 2010 dan baru dirilis secara terbatas di USA dan beberapa negara lain termasuk Indonesia pada tahun 2011. Setelah cukup lama, Peter Weir kembali hadir setelah film terakhirnya Master and Commander: The Far Side of the World yang rilis pada tahun 2003. Beberapa film lain seperti Dead Poets Society dan The Truman Show yang juga karyanya mendapat berbagai tanggapan positif dan juga penghargaan. Saya sendiri baru menyaksikan The Truman Show sehingga tidak bisa terlalu membandingan karya-karya Peter Weir. Tapi boleh diakui The Way Back merupakan salah satu film yang cukup baik. Menghadirkan kehidupan di sebuah kamp tahanan Rusia yang pada terjadi masa Stalin. Kerasnya hidup di kamp membuat Janusz dan 6 tahanan lainnya lari dari kamp. Dalam perjalanan mereka menuju India, Film ini menyajikan pemandangan serta landscape dataran Rusia yang begitu indah, saya sendiri dibuat terpesona oleh pemandangan tersebut. Kemudian Gurun Gobi yang kering dan panas membuat para pengembara kehausan serta hewan gurun yang mengancam keselamatan mereka. Rasa depresi mereka sepanjang perjalanan tergambarkan dengan cukup baik. Begitu juga ketika mereka kehilangan salah satu dari mereka, tidak ada suasana sedih diantara mereka tapi kesedihan itu sendiri bisa dirasakan. Weir menyusun adegan demi adegan dengan cukup baik sehingga film yang memiliki durasi lebih dari 2 jam ini cukup bisa dinikmati dengan baik tanpa harus merasa bosan.

Dari jajaran pemeran sendiri dimana akting mereka sudah tidak diragukan lagi. Jim Sturgess, Collin Farrell, Ed Harris dan Saoirse Ronan memerankan karakter masing-masing dengan sangat baik. Collin Farrell yang berperan sebagai Valka dengan gaya Rusia-nya yang cukup kental. Saoirse Ronan sedikit mengingatkan saya pada perannya sebagai Susie dalam The Lovely Bones dan lagi-lagi ia menampilkan aktingnya dengan cukup baik di sini. Begitu juga Ed Harris dan Jim Sturgess dimana Sturgess yang memerankan karakter utama Janusz dengan cukup brilliant. Peran pendukung lain juga berperan dengan baik di sini. Diluar porsi masing-masing karakter di film, bisa dibilang semuanya berhasil merepresentasikan karakter masing-masing dengan cukup kuat.

Secara keseluruhan, apa yang dilakukan Weir cukup baik. The Way Back menghadirkan pengalaman menarik dalam sebuah perjalanan pelarian dari daratan Siberia hingga ke India. Mengajarkan bagaimana untuk bisa bertahan hidup dalam berbagai kesulitan dan tantangan alam. Dengan jajaran cast yang memerankan masing-masing perannya dengan baik serta penggambaran landscape yang begitu indah dan mempesona membuat The Way Back hadir sebagai tontonan yang menarik untuk diikuti sebagai salah satu film yang patut untuk ditonton di awal tahun ini. Well done Weir.


RATE : 4 / 5

0

Haunted Changi (2010)


Ketika banyaknya film horor yang bersetting mockumentary, sebut saja The Last Exorcism, Paranormal Activity 1 dan 2, .REC dan masih banyak film lainnya, Indonesia pun tidak kalah, dengan Keramat dan Te[Rekam]. Bahkan banyak penggemar horor yang lebih menyukai film horor dengan setting seperti ini yang mungkin lebih terasa menyeramkan dibandingkan dengan film horor lainnya. Mungkin mockumentary akan menjadi trend di dunia perfilman kedepannya. Kali ini, perfilman Singapura tidak mau kalah, Haunted Changi mungkin film horor pertama Singapura yang menggunakan setting mockumentary atau mungkin sebelumnya ada film sejenis yang hanya rilis di Singapura saja. Diluar itu, Singapura ingin menunjukkan bahwa mereka patut diperhitungkan juga, sebagai salah satu negara di Asia, mengingat banyak film horor yang berkualitas datang dari Asia. Haunted Changi berlatar di sebuah rumah sakit Changi, rumah sakit tua yang berada di Singapura. Dimana rumah sakit ini pada jaman pendudukan Jepang dulu digunakan sebagai tempat para tahanan Jepang dan juga untuk mengeksekusi tahanan tersebut. Setelah pendudukan Jepang, rumah sakit itu kembali digunakan hingga ditutup karena banyak bermunculan cerita bahwa arwah dari para tahanan Jepang menghantui rumah sakit itu.


Berawal dari cerita tersebut, sekelompok pembuat film di Singapura mencoba menelusuri rumah sakit tua Changi, penelusuran mereka dimulai pada siang hari di rumah sakit itu. Andrew Lau, Farid Azlam, Audi Khalis dan Sheena Chung memfilmkan berbagai bagian dari rumah sakit tua Changi. Untuk membuktikan keberadaan hantu di rumah sakit itu mereka kembali pada malam hari bersama sekelompok orang yang merupakan para penggemar supranatural. Pada penelusuran malam itu, kelompok pemburu supranatural tersebut merasakan sesuatu yang menakutkan hingga mereka memutuskan untuk mundur dari ekspedisi rumah sakit tua Changi. Para pembuat film ini tetap meneruskan pencarian mereka malam itu. Andrew pun mengatakan bahwa ia melihat seorang wanita yang menempati tempat itu, hingga sebuah kejadian memaksa mereka untuk keluar dari tempat itu. Setelah kejadian itu, Andrew tetap memaksa untuk kembali ke Changi tapi Sheena tidak mau. Hingga setelah itu para kru tersebut terserang penyakit.

Bisa dibilang Haunted Changi cukup "niat" dalam membuat sebuah mockumentary. Kalau mengunjungi situs resminya anda akan melihat facebook fan page serta akun facebook setiap pemain yang dalam wall-nya tertulis kejadian-kejadian yang mereka alami selama proses pengambilan gambar di rumah sakit tua Changi. Selain itu ada juga blog yang menceritakan penelusuran mereka di rumah sakit tersebut. Memang hal tersebut cukup dapat meyakinkan banyak orang bahwa kejadian yang mereka alami adalah nyata diluar rumah sakit tua Changi yang konon kemunculan hantu-hantu tersebut adalah benar adanya. Secara keseluruhan penyajian Haunted Changi sebagai sebuah mockumentary cukup baik. Adegan demi adegan tersusun cukup baik dan pengambilan gambar juga terlihat cukup natural. Sayangnya kalau kita melihat dari sisi horor, bisa dibilang Haunted Changi masih kurang. Tidak banyak adegan-adegan yang "menghibur" bagi penggemar horor tapi untuk nuansa horor sendiri sudah cukup lumayan dirasakan. Yang jadi satu hal positif buat saya adalah dimana di awal film sedikit menceritakan tentang sejarah rumah sakit tua Changi sehingga bagi yang belum mengetahui tentang rumah sakit yang konon angker tersebut bisa mengetahuinya.

Sebagai permulaan, para pembuat film Singapura ini telah membuat mockumentary yang lumayan walaupun untuk sebuah mockumentary horor masih banyak kekurangan dari sisi horor itu sendiri, tapi usaha mereka patut diacungi jempol apalagi bila kita membandingkan dengan film-film horor dalam negeri kita sendiri yang cukup memperihatinkan. Mungkin sudah seharusnya para film maker dalam negeri ini belajar dari beberapa negara di Asia seperti Thailand atau Jepang, jangan sampai kalah dengan tetangga kita sendiri. Well, Enjoy the movie.


RATE : 3 / 5

1

Love In Perth (2010)


Dari banyaknya film Indonesia yang dirilis pada tahun 2010, beberapa film mengambil latar di luar negeri, Love In Perth adalah salah satunya. Setelah Minggu Pagi di Victoria Park yang berlatarkan kota Hongkong, kali ini seperti judulnya Love In Perth mengambil latar di kota Perth, Australia. Disutradarai oleh Findo Purnowo, Love In Perth merupakan drama percintaan remaja yang dibintangi oleh 3 penyanyi remaja yaitu Gita Gutawa, Derby Romero dan Petra Sihombing. Walaupun begitu, Love In Perth bukanlah drama musikal, kemampuan mereka dalam bernyanyi hanyalah sebagai pengisi soundtrack film ini. Bercerita tentang Lola (Gita Gutawa) yang mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya di Perth. Dalam perjalanannya Lola bertemu dengan Dhany (Derby Romero) yang ternyata juga bersekolah di tempat yang sama. Dhany sendiri adalah anak orang kaya, sehingga bagi dia untuk sekolah di Perth adalah sesuatu yang biasa. Awal pertemuan yang tidak berjalan dengan baik, dimana antara Lola dan Dhany selalu terjadi pertengkaran ditambah lagi teman satu kamar Lola, Tiwi (Michella Putri) yang sangat jutek semakin menambah kekesalan Lola. Untungnya Lola bertemu dan berkenalan dengan Ari (Petra Sihombing) yang selalu menemani Lola disaat ia sedang sedih. Suatu hari saat Dhany sedang kesulitan dengan tugas sekolahnya, Lola justru membantunya yang membuat hubungan antara keduanya semakin dekat hingga tumbuh kisah cinta antara Lola dan Dhany. Di sisi lain, Tiwi yang juga menyukai Dhany memusuhi Lola, sementara diam-diam Ari juga menaruh hati kepada Lola. Jadi, siapakah yang akan dipilih Lola antara Dhany yang sering membuat Lola kesal tetapi menyukainya atau Ari yang selalu ada di sampingnya saat ia merasa sedih.


Love In Perth mungkin tidak jauh berbeda dengan film dengan tema sejenis seperti Eiffel, I'm In Love atau film sejenis lainnya. Tapi bagi saya, saat menonton film ini lebih mengingatkan saya pada Ada Apa Dengan Cinta. Mulai dari alur cerita hingga dialognya yang memiliki banyak kemiripan. Skenario film ini sendiri ditulis oleh Titien Wattimena yang mungkin sudah tidak asing lagi namanya bagi pecinta film Indonesia. Film terakhir yang ditulisnya sebelum ini adalah Minggu Pagi di Victoria Park, dimana saya sangat menyukai film tersebut baik dari alur cerita hingga dialognya pun sangat mendalam. Ketika mendapati dia yang menulis Love In Perth membuat saya sedikit berekspektasi terhadap film ini. Memang keseluruhan cerita tidak mengecewakan, dialog yang dimasukkan pun sangat khas dengan kehidupan remaja masa kini. Bahkan ada beberapa dialog yang menempel di kepala saya setelah selesai menyaksikan film ini. Sayangnya tidak ada sesuatu yang istimewa yang disajikannya. Untuk sutradara, ditangani oleh Findo Purwono yang pada tahun 2010 juga merilis tiga film lain yaitu Menculik Miyabi, Lihat Boleh Pegang Jangan dan Hantu Tanah Kusir dimana ketiganya merupakan film yang kontroversial dan sangat bertolak belakang dengan Love In Perth, dimana ketiga film tersebut sedikit berbau sex sedangkan Love In Perth sendiri murni drama percintaan tanpa embel-embel sex sedikit pun. Nama Findo sendiri sudah sangat erat dengan Maxima Pictures yang film-filmnya sendiri hampir selalu penuh kontroversi. Sepertinya Findo ingin membuktikan bahwa ia dapat membuat film yang berkualitas. Memang skenario yang dibuat oleh Titien Wattimena sangat berpotensi untuk membuat Love In Perth ini sebuah film yang mungkin bisa disejajarkan dengan AADC atau lainnya, sayangnya Findo gagal memanfaatkan potensi itu sehingga Love In Perth sendiri tidak menampilkan sesuatu yang istimewa. Sisi lain dari film ini adalah pengambilan gambar landscape kota Perth yang begitu menawan cukup memanjakan mata saya.

Untuk peran sendiri, bagi Gita Gutawa dan Derby Romero mungkin untuk tampil dalam film tidak asing lagi bagi mereka tapi bagi Petra, ini merupakan penampilan pertamanya di film bioskop. Sebagai permulaan, perannya sebagai Ari di sini tidaklah buruk bahkan menurut saya cukup baik untuk seorang yang baru saja mendalami dunia akting. Sedangkan bagi Derby Romero ini merupakan film layar lebar pertamanya setelah ia beranjak remaja. Film terakhirnya yaitu Janus Prajurit Terakhir dibuat pada saat ia masih anak-anak. Setelah itu Derby lebih sering terlihat di sinetron. Kembalinya ia dalam film layar lebar tidak memberikan sesuatu yang istimewa, sebagai Dhany penampilannya biasa saja tidak bedanya dengan penampilannya di sinetron. Lalu Gita Gutawa dimana pada film ini merupakan pertama kalinya ia tampil langsung di layar setelah pada film Meraih Mimpi ia hanya sebagai pengisi suara saja. Karakter Lola sendiri sepertinya cukup menggambarkan Gita yang periang dan religius sehingga tidak sulit baginya memerankan Lola. Selain mereka bertiga ada Michella Putri yang berperan sebagai Tiwi yang menjadi teman kamar Lola tapi juga selalu memusuhi Lola. Perempuan keturunan Yogya-Kanada ini cukup baik memerankan perannya sebagai seseorang yang jutek. Yang sangat disayangkan adalah beberapa peran pendukung lain, seperti teman Dhany dimana beberapa dari mereka aktingnya terlihat kaku.

Love In Perth sebenarnya memiliki banyak potensi untuk menjadi drama percintaan remaja yang berkualitas, sayangnya skenario yang ada gagal dieksekusi dengan baik oleh sang sutradara membuat Love In Perth tidak jauh berbeda dengan film drama percintaan kebanyakan. Padahal ketika mengetahui Titien Wattimena yang membuat skenario ini sedikit menambah ekspektasi saya pada Love In Perth, mengingat apa yang dilakukannya dalam Minggu Pagi di Victoria Park yang membuat saya cukup berkesan. Setidaknya ada beberapa hal mulai dari scene hingga dialog yang 'memorable' dalam konteks yang positif. Love In Perth tidak terlalu buruk untuk menutup parade film Indonesia di tahun 2010.


RATE : 3 / 5