Atambua 39° Celsius (2012)

Labels: ,


Cukup lama sudah duet Mira Lesmana dan Riri Riza sebagai produser dan sutradara menelurkan hasil buah karya mereka. Hampir semua film yang dihasilkan oleh duet ini sukses di pasar film Indonesia. Sebut saja Petualangan Sherina yang menjadi titik awal kerjasama mereka, atau Ada Apa Dengan Cinta, film drama cinta fenomenal yang masih digandrungi hingga saat ini. Film terakhir duet ini adalah Sang Pemimpi yang sekuelnya bukan mereka lagi yang menangani. Jadi sudah sekitar 3 tahun mereka vakum sejak Sang Pemimpi dan kini akhirnya mereka kembali lagi ke kancah perfilman Indonesia dengan Atambua 39° Celsius.

Atambua 39° Celcius mengangkat konflik sosial di Atambua, sebuah kota kecil di dekat perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste, tepatnya di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Sudah 13 tahun berlalu sejak referendum Timor Timur yang menyebabkan propinsi itu lepas dari NKRI dan membentuk negara baru bernama Timor Leste. Mereka yang memilih agar Timor tetap berada di bawah NKRI memilih untuk mengungsi dan tinggal di Atambua. Sedang bagi mereka yang memilih merdeka kembali ke tanah mereka Timor Leste. Konflik perbatasan yang berkepanjangan ini mungkin tak ada bedanya dengan yang terjadi di perbatasan Kalimantan atau perbatasan Papua.


Mereka warga Timor memang diberi pilihan tapi tidak semuanya bisa memilih, ada juga yang terpaksa. Joao (Gudino Suares) adalah salah satu dari warga Timor yang terpaksa tinggal di Atambua karena Ronaldo (Petrus Beyleto), ayahnya yang membawanya ke tempat itu. Ronaldo sendiri menginginkan tanah Timor berada di bawah NKRI tapi bagi Joao itu tidak penting. Keinginan dirinya hanya satu, yaitu bisa bertemu kembali dengan ibunya yang bertahan di Timor Leste bersama anggota keluarganya yang lain. Kini yang bisa ia lakukan hanya mendengarkan rekaman kaset yang berisi suara ibunya memohon agar Ronaldo membawa pulang Joao. Hal ini membuat hubungan ayah dan anak tidak berjalan dengan baik, Ronaldo yang sering mabuk-mabukan dan kadang membuat onar seolah tidak peduli dengan Joao. Joao sendiri lebih disibukkan dengan aktivitasnya bersama teman-temannya.

Di tempat lain ada Nikia (Putri Moruk) yang memutuskan kembali ke Atambua untuk mengunjungi makam kakeknya Mathius. Menempati rumah yang ditinggalkan sang kakek yang tidak begitu jauh dari tempat tinggal Joao. Selama di tempat itu Nikia bermaksud untuk merawat makam sang kakek, tapi apa daya bayangan sang kakek selalu muncul saat Nikia berada di rumah tersebut. Di sisi lain, Joao yang sepertinya memiliki hubungan masa lalu dengan Nikia mulai menaruh perhatian pada dirinya.

Dalam momen kembalinya Riri Reza ke perfilman Indonesia, ketimbang membuat film yang bernuansa drama murni, ia lebih memilih membawa gaya dokumenter ke dalam Atambua 39° Celcius. Di film ini Riri membawa penontonnya ke dalam perjalanan kehidupan 3 tokoh fiksi yang dibuatnya yaitu Joao, Ronaldo dan Nikia. Sebagai penonton, kita akan dibawa bermain ke dalam pemikiran mereka, mencoba merasakan apa yang mereka rasakan. Memang sejak awal kita akan dibuat bingung apa arti dari ketiga tokoh ini lakukan, pertanyaan demi pertanyaan akan muncul, apa dan kenapa. Tapi seiring dengan berjalannya film yang berdurasi sekitar 87 menit ini semua akan terjawab.


Sepertinya sudah menjadi kewajiban bagi film yang mengangkat tema sosial suatu daerah untuk juga mengangkat kehidupan sosial budaya yang sudah melekat di daerah tersebut. Begitu juga dengan Atambua 39° Celcius (2012), film ini tidak hanya mengikuti perjalanan ketiga tokohnya tapi juga mengkaitkannya dengan budaya kota tersebut. Atambua merupakan kota yang mayoritas penduduknya beragama Katolik, tentu upacara keagamaan Katolik sangat erat dengan kota ini. Hal ini diangkat Riri dan menghubungkannya dengan situasi yang dialami tokoh di film ini. Jadi bukan tak ada maksud saat ditampilkannya upacara perayaan Paskah, sebuah penampilan yang sederhana tapi justru memiliki makna yang cukup dalam. Bahasa yang digunakan di film adalah Tetun, bahasa yang banyak digunakan oleh masyarakat Atambua.

Untuk penampilan masing-masing pemeran, ketiga pemeran utama tokoh di film ini yaitu Gudino Suares, Petrus Beyleto dan Putri Moruk memainkan perannya dengan sangat baik. Tidak banyak interaksi percakapan yang terjadi antar masing-masing tetapi bahasa tubuh mereka berhasil menyampaikan apa yang ingin disampaikan kepada penonton.

Membawa ke sebuah kota yang berada di dataran tandus bukan berarti Atambua tidak bisa memanjakan mata penontonnya. Adalah seorang Gunnar Nimpuno yang bertindak sebagai director of photography. Walau dengan dataran yang tandus dan berdebu dimana jarang sekali terlihat pepohonan hijau tapi gambar-gambar yang disajikan tetap membuat kita mengatakan betapa indahnya tanah Atambua. Apalagi sudut pengambilan gambar di beberapa adegan berhasil membuat adegan yang sederhana menjadi dalam maknanya.

Atambua 39° Celcius sebagai comeback Riri Reza dan Mira Lesmana bagi sebagian orang mungkin mengecewakan. Timbul pertanyaan mengapa saat mereka kembali harus mengangkat film dengan tema sosial seperti ini. Bisa jadi ini merupakan opini personal mereka yang ingin mengkritik dan mengangkat konflik sosial masyarakat Atambua. Film yang serba sederhana baik dari sisi cerita maupun pembuatannya, namun dibalik kesederhanaan itu ada makna dalam yang ingin disampaikan oleh Riri dan Mira dalam Atambua 39° Celcius.


RATE : 4 / 5

0 comments:

Post a Comment